Menurut legenda,
evolusi karate dimulai lebih dari ribuan tahun yang lalu, kemungkinan pada awal
abad ke-5 SM ketika Bodhidharma tiba di kuil Shaolin, China dari India dan
mengajarkan Zen Buddhisme. Dia juga memperkenalkan serangkaian latihan
sistematis yang didesain untuk memperkuat pikiran dan tubuh, latihan-latihan
yang disebut-sebut sebagai awal gaya tinju Shaolin. Pelajaran yang diberikan
Bodhidharma kemudian menjadi dasar mayoritas seni bela diri China.
Sesungguhnya, asal karate tidak jelas dan sedikit yang diketahui mengenai awal
pengembangan karate sampai ia diperlihatkan di Okinawa.
Okinawa
merupakan pulau kecil dari sekelompok pulau yang membentuk Jepang modern.
Okinawa merupakan pulau utama dari untaian Pulau Ryuku yang membentang dari
Jepang ke Taiwan. Di kelilingi oleh koral, Okinawa memiliki luas kurang lebih
10 km dan panjang hanya 110 km, terletak 740 km di timur dataran China, 550 km
di Selatan dataran utama Jepang dan 550 km di utara Taiwan. Okinawa menjadi
jalur yang disinggahi mayoritas rute perdagangan, sebagai titik peristirahatan
yang pertama kali ditemukan oleh orang Jepang. Kemudian Okinawa dikembangkan
menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, perdagangan dengan Jepang, China,
Indo China, Thailand, Malaysia, Borneo (Kalimantan), dan Filipina.
Pada tahap
awal, bentuk asli seni bela diri karate mirip dengan pertarungan dengan tangan
(tapak) yang dikembangkan di Okinawa dan disebut Te atau tangan. Larangan
penggunaan senjata, membuat orang-orang Okinawa terdorong untuk menyempurnakan
teknik tangan kosong yang dilatih secara diam-diam. Penyempurnaan lebih lanjut
muncul dari pengaruh seni bela diri lain yang dibawa oleh para bangsawan dan
pedagang ke pulau tersebut.
Pengembangan
lebih lanjut dilakukan selama bertahun-tahun, terutama di tiga kota Okinawa,
yaitu Shuri, Naha, dan Tomari. Masing-masing kota ini merupakan pusat dari
kelas masyarakat yang berbeda, masing-masing merupakan pusat masyarakat raja
dan bangsawan, pedangang, petani dan nelayan. Karena alasan ini, terdapat
perbedaan bentuk seni pertahanan diri yang dikembangkan di masing-masing kota,
yang kemudian dikenal dengan Shuri-te, Naha-te, dan Tomari-te. Secara kolektif
mereka disebut Okinawa-te atau Tode, “Chinese Hand”.
Secara perlahan karate terbagi menjadi dua kelompok utama, Shorin-ryu
yang dikembangkan di Shuri dan Tomari, Shorei-ryu yang dikembangkan di
Naha. Shorin-ryu menekankan pada kecepatan, linier, dengan pola pernafasan
natural sementara Shorei-ryu menekankan pada kestabilan dan pernafasan yang
disinkronisasi dengan masing-masing gerakan. Menariknya, konsep dari kedua gaya
ini juga terdapat dalam bela diri kungfu.
Karakter huruf China yang digunakan untuk menulis Tode juga dapat dibaca
sebagai “Kara”, jadi nama Te diganti dengan Karate-jutsu atau “Chinese Hand Art
atau Seni Bela Diri Tangan dari China” oleh para master dari Okinawa. Kemudian
diganti menjadi Karate-do oleh Gichin Funakoshi yang mengadopsi arti alternatif
dari karakter huruf “Chinese” yaitu “Kara” yang berarti “kosong”. Mulai saat
itu istilah karate diartikan sebagai “tangan kosong”. Sedangkan Do dalam kata
karate-do berarti “cara” atau “pedoman” dan sebagai indikasi tata tertib dan
filosofi dari karate yang dikonotasikan dengan moral dan spiritual.
Do menjadi konsep yang lazim, setidaknya sejak kelahiran pelajar dari
Okinawa, Teijinsoku pada tahun 1663, seperti yang dia tulis di puisinya:
Tidak perduli seberapa hebat seni Te Anda
Dan ilmu pengetahuan Anda
Tidak ada yang lebih penting dari perilaku Anda
Dan perikemanusiaan Anda dalam kehidupan sehari-hari
(Nagamine,
1976)
Pertunjukan karate di muka umum pertama kali dilakukan oleh Gichin
Funakoshi pada tahun 1917 di Butoku-den, Kyoto (Hassel, 1984). Demonstrasi ini
dan demonstrasi berikutnya sangat berkesan bagi banyak orang Jepang, termasuk
Putera Mahkota Hirohito, yang sangat antusias terhadap seni bela diri Okinawa
ini. Pada tahun 1922, Jigoro Kano, pendiri seni bela diri Judo Jepang
mengundang Funakoshi untuk mempertunjukkan karate di Dojo Kodokan yang terkenal
dan dia meminta Funakoshi tetap tinggal di Jepang untuk mengajarkan karate.
Sekarang terdapat empat aliran utama dalam karate-do di Jepang, yaitu:
Goju-ryu, Shito-ryu, Shotokan, dan Wado-ryu.
Goju-ryu
dikembangkan dari Naha-te, popularitasnya terutama karena kesuksesan Kanryo
Higaoma (1853-1915). Higaoma membuka dojo di Naha menggunakan delapan bentuk
yang dibawanya dari China. Murid terbaiknya Chojun Miyagi (1888-1953) kemudian
mendirikan Goju-ryu “metode keras lunak” pada tahun 1930. Di Goju-ryu penekanan
ditujukan pada kombinasi antara teknik tangkisan lembut memutar dan serangan
balasan yang cepat dan keras.
Shito-ryu
didirikan oleh Kenwa Mabuni (1889-1952) pada tahun 1928 dan dipengaruhi secara
langsung oleh Naha-te dan Shuri-te. Nama Shito diambil dari kombinasi karakter
tulisan Jepang dari nama guru Mabuni, yaitu Ankoh Itosu dan Kanryo Higaoma.
Shito-ryu banyak menggunakan “kata”, sekitar 50%, dan berkarakteristik
penekanan pada penggunaan kekuatan dalam pelaksanaan latihan.
Shotokan
didirikan oleh Gichin Funakhosi (1868-1957) di Tokyo pada tahun 1938. Funakoshi
dianggap sebagai pendiri karate modern. Lahir di Okinawa dia mulai belajar
karate dari Yasutsune Azato, salah satu ahli bela diri terbesar di Okinawa.
Pada tahun 1921 Funakoshi pertama kali memperkenalkan karate di Tokyo. Pada
tahun 1936, pada umur hampir mendekat 70 tahun, dia membuka dojo, yang kemudian
disebut Shotokan. Shotokan Karate berkarakteristik teknik linier yang bertenaga
dan cara berdiri yang kokoh.
Wado-ryu
“jalan harmoni” didirikan pada tahun 1939, merupakan sistem karate yang
dikembang dari jujitsu dan karate oleh Hironori Otsuka. Dia mempelajari karate
dari Gichin Funakoshi. Aliran karate ini mengkombinasikan teknik pergerakan
dasar dari Jujitsu dengan teknik menghindar, menekankan pada kelembutan,
harmoni, dan disiplin spiritual. (Diterjemahkan dari www.kungfulibrary.com)
Menurut Kei Shin Kan
Karate-Do Indonesia tentang sejarah Karate ialah saat Okinawa sebelum
menjadi bagian dari Jepang adalah suatu wilayah berbentuk kerajaan yang bebas
merdeka. Pada waktu itu Okinawa mengadakan hubungan dagang dengan pulau-pulau
tetangga. Dan memang Okinawa mendapatkan pengaruh yang kuat akan budaya Cina.
Sebagai pengaruh pertukaran budaya itu banyak orang-orang Cina dengan latar
belakang yang bermacam-macam datang ke Okinawa mengajarkan bela dirinya pada
orang-orang setempat. Yang di kemudian hari menginspirasi nama kata seperti
Jion yang mengambil nama dari biksu Budha. Sebaliknya orang-orang Okinawa juga
banyak yang pergi ke Cina lalu kembali ke Okinawa dan mengajarkan ilmu yang
sudah diperoleh di Cina.
Pada tahun 1477 Raja Soshin di Okinawa memberlakukan
larangan pemilikan senjata bagi golongan ksatria atau pendekar. Tahun 1609
Kelompok Samurai Satsuma di bawah pimpinan Shimazu Iehisa masuk ke Okinawa dan
tetap meneruskan larangan ini. Bahkan mereka juga menghukum orang-orang yang
melanggar larangan ini. Sebagai tindak lanjut atas peraturan ini orang-orang
Okinawa berlatih Okinawa-te (begitu mereka menyebutnya) dan Ryukyu Kobudo (seni
senjata) secara sembunyi-sembunyi. Latihan selalu dilakukan pada malam hari
untuk menghindari intaian. Tiga aliranpun muncul masing-masing memiliki ciri
khas yang namanya sesuai dengan arah asalnya, yaitu : Shuri te , Naha te dan
Tomari te.
Namun demikian pada akhirnya Okinawa te mulai diajarkan ke
sekolah-sekolah dengan Anko Itosu (juga mengajari Funakoshi) sebagai instruktur
pertama. Dan tidak lama setelah itu Okinawa menjadi bagian dari Jepang, membuka
jalan bagi karate masuk ke Jepang. Gichin Funakoshi ditunjuk mengadakan
demonstrasi karate di luar Okinawa bagi orang-orang Jepang.
Gichin Funakoshi sebagai Bapak Karate Moderen dilahirkan di
Shuri, Okinawa, pada tahun 1868, Funakoshi belajar karate pada Azato dan Itosu.
Setelah berlatih begitu lama, pada tahun 1916 (ada yang pula yang mengatakan
1917) Funakoshi diundang ke Jepang untuk mengadakan demonstrasi di Butokukai
yang merupakan pusat dari seluruh bela diri Jepang saat itu. Selanjutnya pada
tahun 1921, putra mahkota yang kelak akan menjadi kaisar Jepang datang ke
Okinawa dan meminta Funakoshi untuk demonstrasi. Bagi Funakoshi undangan ini
sangat besar artinya karena demonstrasi itu dilakukan di arena istana. Setelah
demonstrasi kedua ini Funakoshi seterusnya tinggal di Jepang.
Selama di Jepang pula Funakoshi banyak menulis buku-bukunya
yang terkenal hingga sekarang. Seperti “Ryukyu Kempo : Karate” dan “Karate-do
Kyohan”. Dan sejak saat itu klub-klub karate terus bermunculan baik di sekolah
dan universitas.
Gichin Funakoshi selain ahli karate juga pandai
dalam sastra dan kaligrafi. Nama Shotokan diperolehnya sejak kegemarannya
mendaki gunung Torao (yang dalam kenyataannya berarti ekor harimau). Dimana
dari sana terdapat banyak pohon cemara ditiup angin yang bergerak seolah
gelombang yang memecah dipantai. Terinspirasi oleh hal itu Funakoshi menulis
sebuah nama “Shoto” sebuah nama yang berarti kumpulan cemara yang bergerak
seolah gelombang, dan “Kan” yang berarti ruang atau balai utama tempat
muridnya-muridnya berlatih.
Simbol harimau yang digunakan karate Shotokan yang dilukis
oleh Hoan Kosugi (salah satu murid pertama Funakoshi), mengarah kepada filosofi
tradisional Cina yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah tidur’’.
Digunakan dalam karate Shotokan karena bermakna kewaspadaan dari harimau yang sedang
terjaga dan juga ketenangan dari pikiran yang damai yang dirasakan Gichin
Funakoshi ketika sedang mendengarkan suara gelombang pohon cemara dari atas
Gunung Torao.
Sekalipun Funakoshi tidak pernah memberi nama pada aliran
karatenya, murid-muridnya mengambil nama itu untuk dojo yang didirikannya di
Tokyo tahun sekitar tahun 1936 sebagai penghormatan pada sang guru. Selanjutnya
pada tahun 1948 Japan Karate Association (JKA)
berdiri dengan Gichin Funakoshi sebagai instruktur kepalanya.
Shotokan adalah karate yang mempunyai ciri khas beragam
teknik lompatan (lihat enpi, kanku dai, kanku sho dan unsu), gerakan yang
ringan dan cepat. Membutuhkan ketepatan waktu dan tenaga untuk melancarkan
suatu teknik.
Gichin Funakoshi
tidak pernah menyebutkan perguruannya secara resmi ataupun berafiliasi dengan
sebuah aliran yang lebih dulu ada. Para muridnyalah yang sebenarnya berjasa
dalam hal ini. Mereka memberikan nama SHOTOKAN pada perguruannya itu didasari penggunaan
nama SHOTO pada inisial tanda tangan yang sering dipakai Gichin dalam
karya-karya sastranya. Kata KAN sendiri berarti “Sekolah” dalam bahasa Jepang.
Untuk lambang perguruan dipakai sebuah gambar harimau dalam bentuk seni grafis
yang berasal dari lukisan Cina kuno yang dibuat seorang pelukis Hoan Kosugi,
sahabat Gichin yang diberi nama Tora No Maki (Harimau yang tak pernah
tertidur).(Abdul Wahid, 2007)
Gichin Funakoshi percaya bahwa akan membutuhkan waktu
seumur hidup untuk menguasai manfaat dari Kata. Dia memilih Kata yang yang
terbaik untuk penekanan fisik dan bela diri. Yang mana mempertegas keyakinannya
bahwa karate adalah sebuah seni daripada olah raga. Baginya Kata adalah karate.
Funakoshi meninggal pada tanggal 26 April 1957.
(Keishinkan Karate-Do Indonesia, 2008)
Murid Gichin
Funakoshi yg terkenal
1.
Hironori Ohtsuka (1892-1982), pendiri Wado-Ryu
2.
Shinken Taira ( 1897-1970), pendiri Ryuku-Kobudo
3.
Yasuhiro Konishi
4.
Isao Obata
5.
Gigo Funakoshi (1906-1945)
6.
Shigeru Egami (1912-1981), Shotokan
7.
Masatoshi Nakayama (1913-1987), Shotokan JKA
8.
Masutatsu Oyama (1923-1994), pendiri Kyokushin-Ryu
9.
Hidetaka Nishiyama, Shotokan ITKF
10.
Hirokazu Kanazawa (1921- sekarang), Shotokan SKIF
11.
Tsutomu Okazaki
12.
Takeshi Shimoda
13.
Shinken Gima
14.
Kimo Ito
15.
Genshin Hironishi
16.
Taiji Kase
17.
Hiroshi Noguchi
18.
Tomasaburo Okano
19.
Fusajiro Takagi
20.
Masamoto Takagi
21.
Tasuo Yamada
Sejarah
Karate Di Indonesia
Di tahun 1964, kembalilah ke
tanah air salah seorang mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan kuliahnya
bernama Drs. Baud A.D. Adikusumo(Alm). Beliau adalah seorang karateka
yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama, JKA Shotokan. Ia mulai
mengajarkan karate. Melihat banyaknya peminat yang ingin belajar karate, dia
mendirikan PORKI (Persatuan Olahraga Karate-Do Indonesia) yang merupakan
cikal bakal FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia). Sehingga
beliau tercatat sebagai pelopor seni beladiri Karate di Indonesia. Dan beliau
juga pendiri Indonesia Karate-DO (INKADO)
Setelah beliau, tercatat nama
putra-putra bangsa Indonesia yang ikut berjasa mengembangkan berbagai aliran
Karate di Indonesia, antara lain Sabeth Mukhsin dari aliran Shotokan, pendiri
Institut Karate-Do Indonesia (INKAI) dan Federasi Karate Tradisional Indonesia
(FKTI), dan juga dari aliran Shotokan adalah Anton Lesiangi (pendiri Lembaga
Karate-Do Indonesia/LEMKARI, yang pada dekade 2005 karena urusan internal
banyak anggota Lemkari yang keluar dan dipecat yang kemudian mendirikan INKANAS
(Institut Karate-do Nasional) yang merupakan peleburan dari perguruan MKC
(Medan Karate club).
Aliran Shotokan adalah yang
paling populer di Indonesia. Selain Shotokan, Indonesia juga memiliki
perguruan-perguruan dari aliran lain yaitu Wado dibawah asuhan Wado-ryu Karate-Do Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh C.A. Taman dan
Kushin-ryu Matsuzaki Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Matsuzaki
Horyu. Selain itu juga dikenal Setyo Haryono dan beberapa tokoh lainnya membawa
aliran Goju-ryu, Nardi T. Nirwanto dengan beberapa tokoh lainnya membawa aliran
Kyokushin. Aliran Shito-ryu juga tumbuh di Indonesia dibawah perguruan
GABDIKA Shitoryu (dengan tokohnya Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan
tokohnya Bert Lengkong). Selain aliran-aliran yang bersumber dari Jepang
diatas, ada juga beberapa aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh
putra-putra bangsa Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak
terikat dengan aturan dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.
Pada tahun 1972, 25 perguruan
Karate di Indonesia, baik yang berasal dari Jepang maupun yang dikembangkan di
Indonesia sendiri (independen), setuju untuk bergabung dengan FORKI (Federasi
Olahraga Karate-Do Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan WKF (World
Karate Federation) untuk Indonesia. Dibawah bimbingan FORKI, para Karateka
Indonesia dapat berlaga di forum Internasional terutama yang disponsori oleh
WKF.
Sebagai
perbandingan informasi menurut sumber www.pbforki.org.,
Ilmu bela diri sebenarnya sudah dikenal semenjak manusia ada, hal ini dapat
dilihat dari peninggalan-peninggalan purbakala antara lain: kapak-kapak batu,
lukisan-lukisan binatang yang dibunuh dengan senjata seperti tombak dan panah.
Bela diri pada waktu itu hanya
bersifat mempertahankan diri dari gangguan binatang buas dan alam sekitarnya.
Namun sejak pertambahan penduduk dunia semakin meningkat, maka gangguan yang
datang dari manusia mulai timbul sehingga keinginan orang untuk menekuni ilmu
bela diri semakin meningkat.
Tersebutlah pada 4.000 tahun
yang lalu, setelah Sidartha Gautama pendiri Budha wafat, maka para pengikutnya
mendapat amanat agar mengembangkan agama Budha keseluruh dunia. Namun karena
sulitnya medan yang dilalui, maka para pendeta diberikan bekal ilmu bela diri.
Misi yang ke arah Barat ternyata mengembangkan ilmu Pangkration atau Wrestling
di Yunani. Misi keagamaan yang berangkat ke arah Selatan mengembangkan semacam,
pencak silat yang kita kenal sekarang ini. Salah satu misi yang ke Utara
menjelajahi Cina menghasilkan kungfu (belakangan di abad XII, kungfu dibawa
oleh pedagang Cina dan Kubilaikhan ke negara Majapahit di Jawa Timur).
Dari Cina rombongan yang ke
Korea menghasilkan bela diri yang kemudian kita kenal dengan Taekwondo. Dari
Korea ternyata rombongan tidak dapat meneruskan perjalanan ke Jepang, tetapi
berhenti hanya sampai di kepulauan Okinawa. Tidak berhasil masuknya rombongan
ke Jepang, karena di Jepang saat itu sudah mengembangkan ilmu bela diri
Jujitsu, yudo, kendo dan ilmu pedang (kenjutsu). Namun sejarah mencatat bahwa
pada tahun 1600-an, Kerajaan Jepang telah menguasai Okinawa. Kerajaan Jepang
telah memerintah Okinawa dengan tangan besi, penduduk dilarang memiliki senjata
tajam, bahkan orang tua dilarang memakai tongkat. Diam-diam bangsa yang
terjajah ini mempelajari ilmu bela diri dengan tangan kosong yang waktu itu
dikenal dengan nama TOTE. Dari satu teknik ke teknik lainnya, ilmu bela diri
diperdalam dan para pendeta ikut mendorong berkembangnya ilmu bela diri TOTE
ini.
Kemudian pada tahun 1921 seorang
penduduk Okinawa bernama Gichin Funakoshi memperkenalkan ilmu bela diri dari
TOTE ini di Jepang, dan namanya pun berubah menjadi karate, sesuai dengan aksen
Jepang dalam cara membaca huruf kanji. Sejak saat itu karate berkembang dengan
pesat di Jepang.
Karate masuk di Indonesia bukan
dibawa oleh tentara Jepang melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
kembali ke tanah air, setelah menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963
beberapa Mahasiswa Indonesia antara lain: Baud AD Adikusumo, Karianto
Djojonegoro, Mochtar Ruskan dan Ottoman Noh mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka
inilah yang mula-mula memperkenalkan karate (aliran Shotokan) di Indonesia, dan
selanjutnya mereka membentuk wadah yang mereka namakan Persatuan Olahraga
Karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal 10 Maret 1964 di Jakarta.
Beberapa tahun kemudian
berdatangan ex Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti Setyo Haryono (pendiri
Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut
mengembangkan karate di tanah air. Disamping ex Mahasiswa-mahasiswa tersebut di
atas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka usaha telah pula
ikut memberikan warna bagi perkembangan karate di Indonesia. Mereka-mereka ini
antara lain: Matsusaki (Kushinryu-1966), Ishi (Gojuryu-1969), Hayashi
(Shitoryu-1971) dan Oyama (Kyokushinkai-1967).
Karate ternyata memperoleh
banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari berbagai macam
organisasi (Pengurus) karate, dengan berbagai aliran seperti yang dianut oleh
masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan karate dengan berbagai
aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para tokoh tersebut,
sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan
adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh karate untuk kembali bersatu dalam
upaya mengembangkan karate di tanah air sehingga pada tahun 1972 hasil Kongres
ke IV PORKI, terbentuklah satu wadah organisasi karate yang diberi nama
Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).
Sejak FORKI berdiri sampai
dengan saat ini kepengurusan di tingkat Pusat yang dikenal dengan nama Pengurus
Besar/PB. telah dipimpin oleh 6 orang Ketua Umum dan periodisasi kepengurusan pun
mengalami 3 kali perobahan masa periodisasi yaitu ; periode 5 tahun (ditetapkan
pada Kongres tahun 1972 untuk kepengurusan periode tahun 1972 – 1977)
periodisasi 3 tahun (ditetapkan pada kongres tahun 1997 untuk kepengurusan
periode tahun 1997 - 1980) dan periodisasi 4 tahun ( Berlaku sejak kongres
tahun 1980 sampai sekarang).
Adapun
mereka-mereka yang pernah menjadi Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal (Umum)
FORKI sejak tahun 1972 adalah sbb :
Periode/Masa
Bakti
|
Ketua
Umum
|
Sekretaris
Jenderal/Umum
|
Keterangan
|
1972 -
1977
|
Widjojo
Suyono
|
Otoman
Nuh
|
Kongres
IV PORKI/FORKI 1972 di Jakarta
|
1977 -
1980
|
S u m a d
i
|
Rustam
Ibrahim
|
Kongres V
FORKI 1977 di Jakarta
|
1980 -
1984
|
Subhan
Djajaatmadja
|
G.A.
Pesik
|
Kongres
VI FORKI 1980 di Jakarta
|
1984 -
1988
|
R u d i n
i
|
Adam
Saleh
|
Kongres
VII FORKI 1984 di Bandar Lampung
|
1988 -
1992
|
R u d i n
i
|
G.A.
Pesik
|
Kongres
VIII FORKI 1988 di Jakarta
|
1992 -
1996
|
R u d i n
i
|
G.A.
Pesik
|
Kongres
IX 1992 di Jakarta (Diperpanjang sd 1997)
|
1997 -
2001
|
W i r a n
t o
|
Drs.
Hendardji -S,SH.
|
Kongres X
FORKI 1997 di Caringin Bogor Jawa Barat
|
2001 -
2005
|
Luhut B.
Pandjaitan, MPA.
|
Drs.
Hendardji -S,SH.
|
Konres XI
FORKI 2001 di Jakarta
|
2005 -
2009
|
Luhut B.
Pandjaitan, MPA.
|
Drs.
Hendardji -S,SH.
|
Kongres
XII FORKI 2005 di Jakarta
|
2010 - 2014
|
Drs. H. Hendardji
Soepandji, SH
|
Lumban Sianipar, SIP.,
MSc
|
Kongres XIII FORKI 2010
di Jakarta
|
Perguruan
Karate Anggota Forki
1.
AMURA
2.
BKC (Bandung Karate Club)
3.
BLACK PANTHER KARATE INDONESIA
4.
FUNAKOSHI
5.
GABDIKA SHITORYU INDONESIA (Gabungan Beladiri Karate-Do
Shitoryu)
6.
GOJUKAI (Gojuryu Karate-Do Indonesia)
7.
GOJU RYU ASS (Gojuryu Association)
8.
GOKASI (Gojuryu Karate-Do Shinbukan Seluruh Indonesia)
9.
INKADO (Indonesia Karate-Do)
10.
INKAI (Institut Karate-Do Indonesia)
11.
INKANAS (Intitut Karate-Do Nasional)
12.
KALA HITAM
13.
KANDAGA PRANA
14.
KEI SHIN KAN
15.
KKNSI (Kesatuan Karate-Do Naga Sakti Indonesia)
16.
KKI (Kushin Ryu M. Karate-Do Indonesia)
17.
KYOKUSHINKAI (Kyokushinkai Karate-Do Indonesia)
18.
LEMKARI (Lembaga Karate-Do Indonesia)
19.
PERKAINDO
20.
PORBIKAWA
21.
PORDIBYA
22.
SHINDOKA
23.
SHI ROI TE
24.
TAKO INDONESIA
25.
WADOKAI (Wadoryu Karate-Do Indonesia)
Rujukan :
www.kungfulibrary.com.
History of Karate.2009
www.keishinkan.com. Sejarah
Karate. 2008
www.forki.org. Sejarah Karate. 2005
0 komentar:
Posting Komentar